Ibadah di Rumah Bagaimana Memulainya?


Sungguh saya memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yang menyarankan supaya kita Bekerja di Rumah, Belajar di Rumah, dan Ibadah di Rumah. Tentu saran tersebut tepat untuk mengurangi penyebaran virus Corona atau COVID-19 dan usaha Social Distancing yaitu orang menghindari keramaian dan harus menjaga jarak setidaknya 1 meter dengan orang lain dengan tidak melakukan kontak fisik secara langsung. atau physical distancing. Diupayakan pertemuan-pertemuan yang melibatkan banyak orang dihindari ternasuk pertemuan ibadah di gereja. 

1000% setuju dengan anjuran pemerintah tersebut, karena prinsipnya, kalaupun kita sehat dan kebal karena kita memiliki badan yang fit sehingga kita seperti tahan dengan coronavirus ini, tapi ada orang lain yang tidak sama dengan kita. Ada keluarga kita, anak orang tua kita yang rentan, dan ada orang-orang yang kita kasihi yang bias jadi mudah jatuh sakit. Intinya, kita tidak hanya memikirkan diri sendiri. Walaupun iman kita kuat, tapi ada orang lain yang bias jadi tidak kuat. Jadi jangan alergi dengan tidak beribadah di gedung gereja secara Bersama-sama.

Jalan keluar dari menghindari pertemuan ibadah itu adalah dengan mengadakan ibadah di rumah. Tapi tidak sampai di sini. Bagaimana bentuk ibadah sendiri di rumah?  Tulisan ini berdasarkan hasil berdiskusi dengan teman pendeta yang melayani di sebuah desa kecil di Sulawesi Tengah yang saya sarikan untuk menjadi pelajaran berharga. Rekan saya itu sendiri sebenarnya juga mencari jalan keluarga sendiri bagaimana caranya beribadah di rumah itu. Bahkan dia mencoba bertanya ke rekan-rekan pendeta lainya dalam satu denominasi, dan jawaban teman-temannya itu beragam.

Bagaimana bentuk ibadah di rumah? Pertanyaan ini penulis ajukan kepada teman pendeta tadi untuk mengetahui bagaimana para pendeta menyikapi adanya himbauan ibadah di rumah. "Karena jemaat saya hanya 10 keluarga, jadi saya bagi 5 keluarga beribadah secara bergantian." Kalau demikian itu masih mengadakan pertemuan. Hanya katanya karena anggota dari keluarga yang dimaksud itu kecil jadi tidak sampai menimbulkan kumpulan orang. Jarak yang harus diperketat. Di sini sang gembala masih melakukan koordinasi aktif karena jemaatnya kecil.

Bagaimana dengan mereka yang besar, apakah gembala yang dimaksud pernah menanyakan kepada yang lain rekan sejawatnya? Sudah pernah bertanya, dan salah satunya adalah dengan cara online. Penulis berusaha untuk mengejar begini, bagaimana bias diterapkan kalua jemaatnya di desa-desa? Teman saya itu tertawa terbahak-bahak cukup lama. Mengapa? Karena jangankan untuk membeli data, membeli makan setiap hari saja harus diperhitungkan matang-matang. Itu bisa dilakukan di jemaat-jemaat yang ekonominya sudah tinggi. Kebutuhan makan nomor satu, kebutuhan komunikasi dan media sosial itu nomor sekian dan bahkan tidak pernah masuk hitungan.

Sebagai gembala memang kita tidak bisa melepas 100% jemaat untuk melakukan ibadah sendiri. Peranan gembala dan pendeta sangat besar supaya makna ibadah di rumah itu benar-benar berjalan dengan baik. Kembali kepada pendeta yang melayani di desa tadi, bahwa memang dirinya tetap mengadakan koordinasi, seperti dalam satu keluarga yang bear-benar tidak bisa mandiri untuk beribadah karena bagaimana caranya bisa dilakukan, maka gembala atau pendeta mengutus pekerja gereja untuk membimbing. Caranya beribadah seperti biasa, ada pujian, pembukaan, ada pembacaan Mazmur, ada firman Tuhan atau sekedar renungan, dan membaca firman Tuhan saja kemudian berdoa. Tapi kan tidak semua orang dalam sebuah keluarga bisa melakukan hal tersebut.

Sebagai penutup, jelas bahwa himbauan untuk ibadah di rumah menjadi tantangan sendiri bagi gereja supaya gereja mulai memikirkan bagaimana setiap keluarga dilatih untuk menciptakan dan meyediakan waktu khusus untuk beribadah mandiri Bersama keluarga. Kalau tidak, maka kita akan merasa kebingungan seperti kebanyakan orang seperti sekarang ini.


0 comments