Bagaimana Bentuk Ibadahmu di Rumah? Gagapkah Kita?


Pertanyaan judul di atas mungkin jarang akan dipertanyakan sebelum merebaknya COVID-19 atau Coronavirus di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Bahkan kalau pertanyaan itu muncul, kita langsung berpikir, mungkin maksudnya ibadah kelompok di keluarga yang memang dikoordinir oleh gereja bagi umat kristiani. Tapi sekarang, pertanyaan itu akan mendatangkan jawaban beragam dari masing-masing orang dan masing-masing keluarga. 

Seperti yang disarankan oleh pemerintah dan hal ini juga mau tidak mau didukung oleh gereja bagi umat kristiani supaya tidak mengadakan pertemuan di suatu tempat termasuk di gedung gereja dan supaya beribadah di rumah. Presiden Joko Widodo menghimbau untuk mengurangi penyebaran Virus Corona maka hendaknya masyarakat melakukan kerja di rumah, belajar di rumah dan beribadah di rumah. Pertanyaannya bagi umat kristiani adalah, bagaimana kalau selama ini keluarga-keluarga tersebut hanya mengandalkan pihak organisasi gereja untuk mengkoordinir ibadah-ibadah di keluarga? Pastilah tidak sedikit yang akan merasa gagap menghadapi himbauan mendadak ini. Makanya tidak sedikit jemaat yang masih mengandalkan gereja untuk mengkoordinir.

Bentuknya macam-macam. Dalam grup Whatsapp keluarga, muncul bentuk beribadah di rumah itu dengan cara online. Wow, luar biasa. Ini merupakan bentuk ibadah tingkat tinggi secara tekhnologi yang pasti hanya akan bisa dikuti oleh sebagian keluarga saja. Mengapa demikian? Di belakang ibadah di rumah secara online itu banyak hal yang harus diurus. Dari mulai keberadaan alat masing-masing keluarga, keberadaan biaya berupa akses internet yang pasti tidak murah, belum lagi bagaimana harus menyambungkin hal-hal yang mungkin oleh sebagian orang begitu rumit untuk mengikuti itu semua.

Tapi mari kita coba ikuti dulu bentuk ibadah bersama secara online ini. Jadi para pemimpin ibadah gereja tetap mengadakan ibadah di gedung gereja kemudian disiarkan melalui media sosial. Bisa melalui facebook, Youtube, dll. Hanya jemaat tidak perlu hadir ke gedung gereja, tapi mengikuti saja prosesinya melalui alat bantuan tekhnologi. Luar biasa, sebuah situasi yang belum pernah terjadi sebelum-sebelumnya. Kini hal tersebut harus dilakukan, dan memang perlu dilakukan.

Tapi tentu saja namanya bentuk ibadah dengan model baru, dan apapun yang bersifat baru pastilah akan menimbulkan sedikit banyak pertanyaan dan sekali lagi tidak sedikit yang gagap. Kalau di perkotaan mungkin adaptasinya tidak serumit mereka yang ada di pedasaan yang memikirkan kebutuhan sehari-hari lebih penting ketimbang membeli data dan pulsa. Bahkan kalau ditarik lebih jauh lagi, berapa orang yang punya komputer, atau taruhlah ponsel pintarnya apakah sudah canggih dan siap untuk bisa beribadah secara online?

Kalau faktor tekhnologi itu belum terjawab, maka tentu saja ibadah di rumah secara online tentu sudah gugur. Atau setidak-tidaknya hanya bisa diikuti oleh segelintir orang yang punya akses kepada yang namanya alat canggih tersebut. Lalu, bila ibadah secara online itu tidak bisa, bagaimanakah bentuk keluarga-keluarga dalam beribadah di rumah? Puji Tuhan bila ada orang di keluarga-keluarga tersebut sebagai 'pahlawan' seperti memimpin doa, mendengar firman Tuhan, dan memimpin bernyanyi pujian untuk menangani semuanya, tapi kalau tidak, maka jangan sampai, himbauan ibadah di rumah dianggap sebagai hari libur dari ibadah. Nur Wadik

0 comments