Bisakah Kita Saling Bertahan dalam Kesakitan?



Bagi penggemar film animasi mungkin pernah menyaksikan film berjudul Spirit: Stallion of the Cimarron yang menceritakan mengenai seekor kuda jantan yang gagah berani dan hidup di alam bebas tapi suatu ketika jatuh ke tangan segerombolan manusia yang suka mempekerjakan tenaga kuda untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat yang tidak dapat dilakukan oleh manusia. Sang kuda jantan tersebut sangat liar dan sulit dikendalikan. Tapi suatu ketika sang kuda jantan yang diberi nama Mustang itu bisa lolos dari perangkap tersebut berkat kerjasamanya dalam seorang pelarian yang lain yaitu seorang laki-laki dari suku Lakota. Laki-laki tersebut juga memiliki seekor kuda betina yang cantik bernama Rain. Rupanya Mustang memang bukan kuda sembarangan yang mudah dijinakkan oleh siapapun termasuk oleh laki-laki dari suku Lakota tersebut. Tampaknya sang laki-laki punya akal dengan jalan mengikat si Mustang dengan si Rain kuda betina miliknya di masing-masing lehernya, kemudian dibiarkan lepas begitu saja.

Si Mustang rupanya masih memiliki naluri liarnya sehingga ia sering mengambil jalan sendiri, sementara si Rain kuda betina juga punya tujuan sendiri. Akibatnya seringkali mereka berdua saling tarik menarik yang tentu saja membuat ikatan di leher mereka saling tercekik. Sampai ahirnya sang betika memberi pelajaran dengan berusaha untuk menjatuhkan sang Mustang dan itu berhasil. Dari situlah mereka mulai menyadari bahwa kalau masing-masing menarik ikatan untuk menuruti kehendak hatinya, maka mereka akan menemukan kesulitan untuk melangkah. Sehingga Mustang menyadari dan mereka berusaha untuk berjalan bersama, karena dengan demikian mereka tidak akan saling menarik satu dengan lainnya. Bahkan dengan saling bersama di sana diketemukan kedekatan yang membahagiakan.

Pelajaran menarik dari film tersebut jika diambil hikmatnya untuk diterapkan di dalam keluarga kita ketika memiliki persoalan adalah ketika kita sedang dilanda konflik yang tidak berujung, maka pertanyaan bagi kita adalah pernahkah kita berusaha untuk menyesuaikan diri dengan pasangan kita? Atau sebaliknya, ketika kita diperhadapkan dengan konflik, kita berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan pendapat kita, mempertahankan apa yang kita anggap paling benar, maka bisakah persoalan itu akan menemukan titik temunya?

Sering kali kita di dalam menghadapi konflik dengan pasangan kita cenderung lebih melihat bahwa kitalah yang paling benar dan pasangan kita tidak memiliki kebenaran sedikitpun. Kita ingin pasangan kitalah yang bisa takluk dengan pendapat kita, karena dipikirnya kalau pasangan kita takluk kepada kita, maka kita akan merasa menang dalam konflik tersebut. Padaha kalau prinsip seperti itu yang ad adi dalam benak suami dan istri, tentulah mereka sebenarnya berada dalam situasi bertahan di dalam kesakitan. Mengapa demikian? Karena tidak ada konflik yang mengenakkan atau membahagiakan masing-masing pihak, tapi sebaliknya konflik itu akan sangat menyakitkan.

Sikap bertahan di dalam memegang sebuah prinsip yang belum tentu benar di dalam pernikahan sering disebabkan oleh karena kita kurang di dalam menghargai pendapat pasangan kita. Ada sebagian orang jika mengendorkan urat saraf sedikit saja seperti dunia mau kiamat. Karena menurutnya jikalau sudah lemah di dalam mempertahankan pendapat, maka dirinya sebenarnya sudah takluk kepada pasangan. 

Kalau sikap seperti itu tumbuh, maka saya bisa bayangkan bahwa rumah tangga seperti itu ibaratnya seperti sebuah arena perang yang bila sekali waktu muncul sedikit masalah maka konflik menjadi ciri akhirnya. Dan bisa jadi dalam setiap persoalan masing-masing sudah memiliki senjata, dari senjata biasa sampai senjata pamungkas dikeluarkan untuk “melumpuhkan” sang pasangan yang dianggap lawan.

Banyak pasangan juga ketika di dalam menyelesaikan persoalan menggunakan ilmu anak-anak. Bagaimana ilmu anak-anak itu? Saya punya cerita yang sampai hari ini tidak pernah hilang dari ingatan saya. Sewaktu saya masih duduk di bangku Sekolah dasar saya biasanya pulang bersama teman-teman bergerombol berjalan kaki sekitar 1 km.

Nah setiap kami pulang sekolah dengan jalan kaki itu hampir setiap hari kalau hendak berpisah satu dengan yang lain selalu saling ejek dan bahkan berakhir dengan ejekan-ejekan yang menyakitkan, seperti menyebutkan nama orang tua dengan sebutan yang sifatnya mengejek, yang waktu itu bisa memanaskan telinga kami. 


Anehnya, pertengkarandan saling ejek itu semakin hari semakin panjang urut-urutannya karena di dalam saling ejek itu selalu menyebutkan ejekan-ejekan sebelumnya sehingga menjadi sebuah daftar ejekan yang sangat panjang. Jikalau setiap konflik datang masing-masing pihak di dalam keluarga dalam hal ini suami dan istri selalu membawa amunisi yang merupakan tumpukan dari amunisi-amunisi sebelumnya, maka bisa dipastikan konflik itu tidak aka nada akhirnya. Dan bila seperti itu, maka bukan kebahagiaan yang bisa didapat, tetapi celaka yang kita terima. Nur Wadik

0 comments