Berteriak Sebuah Cara Menarik Perhatian


Saya dibesarkan di sebuah daerah yang memiliki alam perbukitan yang indah. Dan tentu saja di mana ada bukit di situ juga akan ada lembah. Sering kali saya bermain-main dari bukit yang satu ke bukit yang lain dengan berkejar-kejaran dengan teman. Di sela-sela permainan itu saya sering menyaksikan para petani membawa hasil kebun dan sawah yang dibawa turun.

Ketika saya menyaksikan dengan seksama, para petani itu sering kali berteriak kepada kawan atau keluarganya yang ada di seberang bukit lainnya untuk menyampaikan pesan-pesannya. Contohnya, kalau salah seorang keluarga lupa meletakkan sabitnya di bukit yang lain, maka kalau ia enggan mengambilnya, maka bisa saja kalau ada anggota keluarga lainnya yang ad adi bukit lainnya itu disuruhnya untuk membawanya. Caranya dengan berteriak dengan sekuat tenaga yang tentu saja sampai urat lehernya keluar. Tujuannya hanya satu, supaya apa yang diinginkannya bisa tercapai, maka ia berharap pesan yang disampaikannya bisa diterima.

Sering kali kalau orang harus berteriak kepada orang lain di bukit lainnya, ia harus mengulangi teriakannya. Jadi kadang-kadang tidak cukup sekali, tapi bahkan beberapa kali. Penyebabnya karena sering si penerima pesan merasa kurang jelas terhadap teriakan tsb. Kalau istilah lainnya, noisnya banyak. Ada hembusan angin yang keras sehingga memecahkan suara, atau karena ada suar-suara lain semacam, air sungai yang mengalir deras, atau burung-burung berkicau dan banyak macam nois-nois lainnya. 

Tapi tentu saja jarak memang menjadi halangan utamanya. Karena kebiasaan berteriak kalau di kebun itu menjadi biasa, maka orang-orang di kampung saya tidak menganggap aneh kalau ada orang berteriak. Bahkan sayapun ahli kalau soal berteriak dari bukit ke bukit semacam Tarzan di hutan.


Namun keahlian berteriak ini juga rupanya bukan hanya ahlinya orang-orang di kampung saya dalam soal panggil memanggil di ladang, tapi masalah berteriak ini juga sering dialami oleh banyak keluarga. Tidak aneh memang! Tapi kalau kita pikir-pikir, benyak suami yang berteriak di depan istrinya padahal istrinya ada di hadapannya. Begitu juga sebaliknya. Orang tua berteriak kepada anak-anaknya di dalam area rumahnya.

Di dalam rumah tentu tidak ada bukit, tidak ada lembah, tidak ada jurang yang membuat komunikasi mereka terganggu. Posisinya ada di depan hidung kita, tapi sering kali orang berteriak sampai keluar urat lehernya seperte orang-orang berteriak di kampoung saya kalau memanggil orang lain di bukit yang lain.

Berteriak bisa jadi merupakan cara seseorang menarik perhatian. Tapi terkadang walaupun orang yang ad adi depan kita itu sudah memperhatikan dengan seksama, tapi sering kali masih saja teriakan muncul. Kalau begitu apa penyebabnya orang berteriak entah dalam bentuk pertengkaran, bentakan, hardikan dan semacamnya itu bisa terjadi di dalam keluarga? 

Ternyata teriakan itu menunjukkan bahwa di dalam rumah tangga tersebut ada bukit-bukit yang tumbuh di dalam hati orang-orang yang berteriak tersebut. Bukit-bukit kemarahan, kebencian, ketakutan, kecemburuan, kegeraman dan seterusnya itu telah menjadi bukit-bukit penghalang, sehingga memaksa teriakan itu dilakukan.

Kalau seandainya bukit-bukit itu dihancurkan sehingga tidak ada penghalang lagi, maka saya yakin teriakan itu akan hilang dan berubah menjadi suara kelembutan

0 comments