Membela Pasangan yang Bersalah. Bolehkah?


Menjadi suatu kewajiban bagi seorang suami maupun seorang istri untuk membela pasangannya ketika pasangannya itu sedang mengalami persoalan atau berada dalam ketertekanan hidup. 

Namun bagaimana seandainya pasangan kita itu melakukan perbuatan yang salah, katakanlah kalau ia korupsi, atau perbuatan-perbuatan yang baik melanggar hukum Negara maupun etika Kristen. Apakah kita akan membelanya, dalam pengertian membela di sini, apakah kita akan turut membenarkan apa yang dilakukan oleh pasangan kita itu? Contohnya di gereja, pasangan kita melakukan penyelewengan keungan atau melakukan pelanggaran.

Mendukung pasangan kita secara moril contohnya supaya pasangan kita yang terkena kasus itu supaya tabah menghadapi, mungkin itu harus. Karena bisa jadi yang dipikirkan adalah ketenangan dalam keluarga. Tapi apakah kita akan turut membela kesalahan yang dilakukannya itu? Persoalan yang diangkat ini memang berangkat dari pengalaman di mana ada seorang suami yang berusaha untuk membela mati-matian istrinya yang melakukan kesalahan. Pembelaan itu dilakukan baik di depan umum maupun di dalam rapat-rapat terbatas. Padahal faktanya sang istri sudah dinyatakan bersalah, dan semua bukti juga mengarah kepada satu kenyataan bahwa sang istri memang bersalah.

Tentu saja dalam masalah ini kita jadi teringat dengan peristiwa Annanias dan Safira ketika mereka berusaha untuk tidak berkata jujur kepada rasul Petrus. Dimulai ketika sang suami yaitu Annanias menjelaskan mengenai hasil penjualan tanah miliknya dengan tidak sebenarnya. Dan ketika sang istri datang yaitu Safira dan kemudian ditanya oleh rasul Petrus mengenai hal yang sama, maka sang istri rupanya bersekongkol dengan menjawab kebohongan yang sama. Akibatnya sang istri meninggal dunia seperti yang dialami oleh suaminya (Kisah Rasul 5:1-11). Memang peristiwa tragis.

Sebuah pilihan yang sulit sebenarnya kalau kita diperhadapkan dalam kondisi di mana pasangan kita sedang terjepit oleh karena kesalahan, lalu posisi kita mau di mana? Ibaratnya buah simalakama. Kalau dibela pokok persoalannya, atau kesalahannya itu tentu akan menimbulkan persoalan nantinya di dalam keluarga, karena bisa jadi orang yang paling dekat dengan hidup kit adi dalam keluarga, “Masak sih, kita tega membiarkan dia “dihukum”? Tapi, kalau tidak dibela, “Wong dia pasangan saya yang saya cintai dan saya kasihi.” Dampaknya sangat besar.

Dalam melihat persoalan ini rasanya baik kalau kita mengutip hasil analisa dari pakar pernikahan yaitu Gary Smalley dan John Trent dalam buku mereka, Dua Sisi Cinta. Walaupun keduanya tidak membahas persoalan ini secara khusus, namun ketika kita melihat dua sisi cinta yang harus ad adi dalam kehidupan seseorang bila kita ingin menciptakan kebahagiaan rumah tangga, maka kita harus memiliki dua sisi cinta.

Maksudnya bagamana? Di satu sisi kita harus memiliki sisi cinta yang keras. Saya menafsirkannya, jikalau hal itu berhubungan dengan kesalahan, maka kita juga harus “keras” dalam menunjukkan kepada pasangan kita. Tapi di sisi lain kita juga harus memiliki sisi “lembut” terhadap pasangan kita. Untuk lebih menjelaskan, kita melihat bahwa Tuhan Yesus memiliki dua sisi cinta ini. Di satu sisi Tuhan Yesus sangat lembut terhadap manusia seperti kepada manusia, kepada rasul Petrus dan Zakheus. Tapi di sisi lain Tuhan Yesus begitu keras terhadap orang-orang Farisi dan orang-orang Saduki, dan bahkan kepada Petrus.

Mungkin pembaca sudah mulai menangkap maksud saya apa yang dimaksud dengan dua sisi cinta itu. Dan kita bisa hubungkan dengan persoalan di atas, yaitu, bagaimana seandainya pasangan kita melakukan kesalahan? Apakah kita akan menjadi pembela mati-matian karena ia adalah pasangan kita, teman hidup yang sangat dikasihi dan dicintai atau kita akan menggunakan sisi cinta yang lain yaitu sisi keras? Tentu Anda yang paling tepat untuk menjawabnya.

0 comments