Benarkah Konflik Sebagai Bumbu Rumah Tangga?


Memang menjadi pertanyaan, istilah konflik sebagai bumbu dalam rumah tangga itu kalau ditelusuri dilatarbelakangi karena konflik itu sendiri tidak bisa dihindari keberadaannya dalam rumah tangga. Dan semua orang yang pernah menjalin hubungan dalam pernikahan memang suka tidak suka, mau tidak mau akan melewati masa-masa di mana mereka akan mengalami konflik. 

Makanya ketika sebuah keluarga mengalami konflik, selama itu bukan konflik yang mengkhawatirkan dan membahayakan hubungan mereka, dianggapnya sebagai hal yang wajar. Kewajaran itulah yang akhirnya mungkin dianggap sebagai sebuah bumbu, atau warna dalam rumah tangga.

Tapi, seperti halnya kehadiran bumbu bila kita mau menyamakannya dengan masakan, tapi tanpa ada bumbu akan menjadi hambar. Konflik akhirnya memang "harus" ada di dalam keluarga karena  ya itu tadi tidak bisa dihindari. Memang kalau mau menyamakan dengan masakan, rasanya aneh bila kita membuat sayur hanya berupa sayur dan air saja, lalu dimasak. Tanpa bawang merah, bawang putih dan garam serta racikan-racikan lainnya, pasti seperti ada yang kurang. 

Walaupun bisa saja dilakukan seseorang memasak tanpa bumbu sama sekali. Mungkin karena penyakit-penyakit tertentu hal tersebut dicoba. Tapi tetap saja efeknya pasti tidak enak sama sekali. Hal ini pernah saya alami ketika diajak makan seorang dosen. Karena sang dosen ingin menghindari kambuhnya berbagai penyakit yang dialaminya, maka kalau ia memasak, maka masakannya itu hanya berupa, nasi, kemudian sayuran yang direbus. Ketika saya menemaninya makan, ia menyediakan bagi saya saos dan sambal botol serta kecap. Jadi maksud saya, kita bisa menghindari penggunaan bumbu dalam masak memasak. Tapi bagaimana dengan konflik dalam sebuah keluarga? 

Tapi berbeda dalam rumah tangga, kalau kita ingin menghindar atau "emoh" sama sekali adanya konflik, rasanya tidak mungkin. Jadi, kalau bumbu itu kita mau atau tidak menggunakannya, tapi kalau kehadiran konflik dalam rumah tangga, suka atau tidak suka, konflik itu akan muncul. Tapi walaupun demikian, menggunakan istilah bumbu untuk menyebut konflik akan menjadi bermanfaat ketika konflik itu sendiri memiliki takaran yang pas. Jadi, walaupun konflik dalam rumah tangga itu "harus" ada, hanya saja orang-orang yang terlibat di dalamnya juga harus hati-hati, jangan sampai bumbu yang muncul itu adalah bumbu yang berlebihan.

Makanya ada seorang konselor yang tidak setuju menggunakan istilah manfaat konflik. Artinya mungkin dia tidak setuju menyamakan konflik dengan bumbu dalam rumah tangga. Karena konflik akan menimbulkan manyak masalah dalam rumah tangga. Itu benar! Tapi, ketika kita masuk dalam rumah tangga dan kita menikah dengan pihak yang berbeda dalam banyak segi. Kalau mau bertanya kepada sebuah pasangan untuk didaftar perbedaan antara suami dan istri dalam sebuah rumah tangga, saya yakin akan dijumpai urutan yang tidak ada akhirnya. 

Berangkat dari perbedaan itulah yang salah satu pemicu munculnya konflik dalam rumah tangga. Sehingga konflik disuka atau tidak disuka, ditolak atau diterima akan hadir menjadi bagian dalam rumah tangga. Dari segi manfaat, boleh juga kalau mengatakan tidak ada manfaat, tapi konflik akan memberi jalan kepada pasangan untuk kita mengerti dan semakin mengerti pasangan kita. Hanya ya itu, lihat batasnya konflik itu sendiri.

Konflik dalam rumah tangga bila di atas batas yang berlebih akan membahayakan keluarga itu sendiri dalam hal ini suami dan istri. Jadi ibaratnya bila bumbu terlalu asin, bisa-bisa kita akan langsung berhenti untuk makan karena efeknya banyak, di lidah juga terasa tidak nyaman, tapi juga akibat panjanganya kita bisa darah tinggi karena kelebihan garam dalam bumbu tadi. 

Tapi bagaimana kita bisa menakar dengan tepat bumbu konflik yang hadir itu supaya tidak berlebihan? Memang komunikasi salah satu bentuk dan cara kita bisa menjadi bentuk penyelesaian. Hanya saja tidak sesederhana kita menyebutnya. Di dalamnya ada kerumitan-kerumitan yang perlu kita lihat satu per satu ketika konflik itu muncul dan kita mau menggunakan jalan keluarnya dengan komunikasi.

Jadi benarkah konflik itu bumbu dalam rumah tangga?

0 comments